Laman

Selasa, 29 Mei 2012

ASKEP Dismenore


ASUHAN KEPERAWATAN DISMENORE
a.      Definisi
Dismenore atau menstruasi yang menimbulkan nyeri yang disebabkan oleh kejang otot uterus yang dimana merupakan salah satu masalah ginekologi yang paling umum dialami oleh wanita dari berbagai tingkat usia.
b.      Epidemiologi/Insiden Kasus
Dismenore dapat mempengaruhi lebih dari setengah wanita haid, dan prevalensi yang dilaporkan telah sangat bervariasi. Sebuah survey dari 113 pasien dalam praktek pengaturan keluarga menunjukkan prevalensi dismenore dari 29-44%, tetapi angka prevalensi setinggi 90% pada wanita berusia 18-45 tahun.
Di Indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64.25 % yang terdiri dari 54,89% dismenore primer dan 9,36 % dismenore sekunder (Infosehat, 2008). Di Surabaya di dapatkan 1,07 %-1,31 % dari jumlah penderita dismenore datang kebagian kebidanan, Sekitar 20% bisa dialami oleh wanita remaja dan wanita muda, sedangkan 40% pada wanita paruh baya (usia lebih 40 tahun).
c.       Penyebab/ factor predisaposisi
*      Dismenore primer
Banyak teori yang telah ditemukan untuk menerangkan penyebab terjadi   dismenore primer, Etiologi dismenore primer di antaranya :
1.      Faktor psikologis
Biasanya terjadinya pada gadis-gadis yang secara emosional tidak stabil, mempunyai ambang nyeri yang rendah, sehingga dengan sedikit rangsangan nyeri, maka ia akan sangat merasa kesakitan
2.      Faktor endokrin
Pada umumnya nyeri haid ini dihubungkan dengan kontraksi uterus yang tidak bagus. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pengaruh hormonal. Peningkatan produksi prostaglandin akan menyebabkan terjadinya kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi sehingga menimbulkan nyeri.
3.      Alergi
Teori ini dikemukakan setelah memerlukan setelah memberhatikan hubungan antara asosiasi antara dismenore dengan urtikaria, migren, asma bronchial, namun bagaimana pun belum dapat dibuktikan mekanismenya.
*      Dismenore sekunder
1.      Faktor konstitusi seperti : anemia.
2.      Faktor seperti obstruksi kanalis servikalis
3.      Anomali uterus congenital
4.      Leiomioma submukosa.
5.      Endometriosis dan adenomiosis
d.      Patofisiologi Terjadinya Penyakit
*      Dismenorea Primer
Dismenorea primer (primary dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menarche (haid pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle) ditetapkan/ditentukan. Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing endometrial cells) melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid (menstrual fluid) pada wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini memang meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga memiliki peran yang sama.
Riset terbaru menunjukkan bahwa patogenesis dismenorea primer adalah karena prostaglandin F2alpha (PGF2alpha), suatu stimulan miometrium yang kuat (apotent myometrial stimulant) dan vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon terhadap inhibitor prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung pernyataan bahwa dismenorea diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin mediated). Banyak bukti kuat menghubungkan dismenorea dengan kontraksi uterus yang memanjang (prolonged uterine contractions) dan penurunan aliran darah ke miometrium. Kadar prostaglandin yang meningkat ditemukan di cairan endometrium (endometrial fluid) wanita dengan dismenorea dan berhubungan baik dengan derajat nyeri (Helsa, 1992; Eden, 1998).
Peningkatan endometrial prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler menuju fase luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama menstruasi (Speroff, 1997; Dambro, 1998). Peningkatan prostaglandin di endometrium yang mengikuti penurunan progesterone pada akhir fase luteal menimbulkan peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan (Dawood, 1990). Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas nyeri serabut (pain fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah leukotriene yang bermakna (significant) telah dipertunjukkan di endometrium wanita dengan dismenorea primer yang tidak berespon terhadap pengobatan dengan antagonis prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell, 1990; Nigam, 1991). Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada hipersensitivitas miometrium, mereduksi (mengurangi) aliran darah uterus, dan nyeri (pain) pada penderita dismenorea primer (Akerlund, 1979). Peranan vasopressin di endometrium dapat berhubungan dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin.
*      Dismenorea Sekunder
Dismenorea sekunder (secondary dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid pertama), namun paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an. Setelah tahun-tahun normal, siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin dapat berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by definition), penyakit pelvis yang menyertai (concomitant pelvic pathology) haruslah ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis, leiomyomata (fibroid), adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic inflammatory disease, dan penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device). Karim Anton Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis dismenorea sekunder. Kondisi patologis pelvis berikut ini dapat memicu atau mencetuskan dismenorea sekunder: Endometriosis, Pelvic inflammatory disease, Tumor dan kista ovarium, Oklusi atau stenosis servikal, Adenomyosis, Fibroids, Uterine polyps, Intrauterine adhesions, Congenital malformations (misalnya: bicornate uterus, subseptate uterus), Intrauterine contraceptive device,  Transverse vaginal septum serta Pelvic congestion syndrome Allen-Masters syndrome.
e.       Klasifikasi
Secara klinis Dismenorea dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam yaitu
*      Dismenorea Primer (esensial, intrinsik, idiopatik)
Dismenore primer biasanya terjadi akibat adanya kelainan pada gangguan fisik yang mendasarinya, sebagian besar dialami oleh wanita yang telah mendapatkan haid. Lokasi nyeri dapat terjadi di daerah suprapubik, terasa tajam, menusuk, terasa diremas, atau sangat sakit. Biasanya terjadi terbatas pada daerah perut bagian bawah, tapi dapat menjalar sampai daerah paha dan pinggang. Selain rasa nyeri, dapat disertai dengan gejala sistematik, yaitu berupa mual, diare, sakit kepala, dan gangguan emosional.
*      Dismenorea Sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired)
Biasanya terjadi selama 2 – 3 hari selama siklus dan wanita yang mengalami dismenore sekunder ini biasanya mempunyai siklus haid yang tidak teratur atau tidak normal. Pemeriksaan dengan laparaskopi sangat diperlukan untuk menemukan penyebab jelas dismenore sekunder ini.
f.       Gejala Klinis
Gejala klinis disminore yang sering ditemukan adalah :
1.      Nyeri tidak lama timbul sebelum atau bersama-sama dengan permulaan haid dan berlangsung beberapa jam atau lebih
2.      Bersamaan dengan rasa nyeri dapat dijumpai rasa mual, muntah, sakit, kepala, diare, dan sebagainya.
g.      Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umumnya akan memberikan petunjuk untuk penegakan diagnosis atau diagnosis itu sendiri pada pasien yang memiliki keluhan dismenore atau nyeri pelvis yang sifatnya kronis. Adanya pembesaran uterus yang asimetris atau tidak teratur menandakan suatu myoma atau tumor lainnya. Pembesaran uterus yang simetris kadang muncul pada kasus adenomyosis dan kadang terjadi pada kasus polyps intrauterin. Adanya nodul yang menyebabkan rasa nyeri pada bagian posterior dan keterbatasan gerakan uterus menandakan endometriosis. Gerakan uterus yang terbatas juga ditemukan pada kasus luka pelvis akibat adhesion atau inflamasi. Proses inflamasi kadang menyebabkan penebalan struktur adnexal. Penebalan ini terlihat jelas pada pemeriksaan fisik. Namun, pada beberapa kasus nyeri pelvis, pemeriksaan laparoskopi pada organ pelvis tetap dibutuhkan untuk melengkapi proses diagnosa (Smith, 2003).

h.      Pemeriksaan diagnostic/penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada klien dengan dismenore adalah:
1.      Tes Laboratorium
a.       Pemeriksaan darah lengkap: normal
b.      Urinalisis: normal
2.      Tes Diagnostik Tambahan
a.       Laparaskopi: penyikapan atas adanya endomeriosi ataukelainan pelvis yang lain.
i.        Diagnosis/criteria diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Diagnosa dismenore didasari atas ketidaknyamanan saat menstruasi. Perubahan apapun pada kesehatan reproduksi, termasuk hubungan badan yang sakit dan perubahan pada jumlah dan lama menstruasi, membutuhkan pemeriksaan ginekologis; perubahan-perubahan seperti itu dapat menandakan sebab dari dismenore sekunder.
j.        Therapi/tindakan penanganan
1.      Secara Farmakologis
Menurut Potter dan Perry (2005) upaya farmakologis yang dapat dilakukan dengan memberikan obat analgesic sebagai penghilang rasa sakit. Menurut Bare & Smeltzer (2001), penanganan nyeri yang dialami oleh individu dapat melalui intervensi farmakologis, dilakukan kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya pada pasien. Obat-obatan ini dapat menurunkan nyeri dan menghambat produksi prostaglandin dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma dan inflamasi yang menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitive terhadap stimulus menyakitkan sebelumnya, contoh obat anti inflamasi nonsteroid adalah aspirin, ibuprofen. Menurut Prawirohardjo (1999), Penanganan disminore primer adalah:
a.       Penanganan dan nasehat
Penderita perlu dijelskan bahwa dismenore adalah gangguan yang tidak berbahaya untuk kesehatan, hendaknya diadakan penjelasan dan diskusi mengenai cara hidup, pekerjaan, kegiatan, dan lingkungan penderita. Salah satu informasi yang perlu dibicarakan yaitu mengenai makanan sehat, istrahat yang cukup, dan olahraga mungkin berguna, serta psikoterapi.
b.      Pemberian obat analgesic
Dewasa ini banyak beredar obat-obat analgesik yang dapat diberikan sebagai terapi simtomatik, jika rasa nyeri hebat diperlukan istrhat di tempat tidur dan kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi penderita. Obat analgesik yang sering diberikan adalah preprat kombinasi aspirin, fansetin, dan kafein. Obat-obatan paten yang beredar dipasaran antara lain novalgin, ponstan, acetaminophendan sebagainya.
c.       Terapi hormonal
Tujuan terapi hormonal ialah menekan ovulasi, bersifat sementara untuk membuktikan bahwa gangguan benar-benar dismenore primer atau untuk memungkinkan penderita melakukan pekerjaan penting waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai dengan memberikan salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
d.      Terapi dengan obat non steroid anti prostaglandin
Endometasin, ibuprofen, dan naproksen, dalam kurang lebih 70% penderita dapat disembuhkan atau mengalami banyak perbaikan. Pengobatan dapat diberikan sebelum haid mulai satu sampai tiga hari sebelum haid dan dapat hari pertama haid.
e.        Dilatasi kanalis servikalis
Dilatasi kanalis servikalis dapat memberikan keringanan karena dapat memudahkan pengeluaran darah dengan haid dan prostaglandin didalamnya. Neurektomi prasakral (pemotongan urat saraf sensorik antara uterus dan susunan saraf pusat) ditambah dengan neurektomi ovarial (pemotongan urat saraf sensorik pada diligamentum infundibulum) merupakan tindakan terakhir, apabila usaha-usaha lainnya gagal.

2.       Secara Non Farmakologis

Menurut Bare & Smeltzer (2001) penanganan nyeri secara nonfarmakologis terdiri dari:
a.       Stimulasi dan Masase kutaneus
Masase adalah stimulus kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
b.      Terapi es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostsglandin yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi. Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurungkan nyeri dengan memprcepat penyembuhan.
c.       Transecutaneus Elektrikal Nerve Stimulaton ( TENS)
TENS dapat menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nesiseptor) dalam area yang sama seperti pada serabut yang menstramisikan nyeri. TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang di pasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.
d.      Distraksi
Distraksi adalah pengalihan perhatian dari hal yang menyebabkan nyeri, contoh: menyanyi, brdoa, menceritakan gambar atau foto denaga kertas, mendengar musik dan bermain satu permainan.
e.       Relaksasi
Relaksasi merupakan teknik pengendoran atau pelepasan ketegangan. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama (teknik relaksasi nafas dalam. Contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan.
f.       Imajinasi
Imajinasi merupakan hayalan atau membayangkan hal yang lebih baik khususnya dari rasa nyeri yang dirasakan.
k.      Komplikasi
Komplikasi yang biasa muncul yaitu:  Syok dan penurunan kesadaran.
Asuhan Keperawatan
b.      Pengkajian
Hal-hal yang perlu dikaji pada klien dengan dismenore yaitu: Siklus haid, karakteristik nyeri, serta gejala yang mengikutinya.
·         Data Subjektif
Nyeri abdomen dapat mulai beberapa jam sampai 1 hari mendahului keluarnya darah haid. Nyeri biasanya paling kuat sekitar 12 jam setelah mulai timbul keluarnya darah, saat pelepasan endometrium maksimal. Nyeri cenderung bersifat tajam dan kolik 12 biasanya dirasakan di daerah suprapubis. Nyeri juga dapat meliputi daerah lumbosakral dan bagian dalam dan anterior paha sampai daerah inervasi saraf ovarium dan uterus yang dialihkan ke permukaan tubuh. Biasanya nyeri hanya menetap sepanjang hari pertama tetapi nyeri dapat menetap sepanjang seluruh siklus haid. Nyeri dapat demikian hebat sehingga pasien memerlukan pengobatan darurat. Gejala- gejala haid, haid biasanya teratur. Jumlah dan lamanya perdarahan bervariasi. Banyak pasien menghubungkan nyeri dengan pasase bekuan darah atau campakkan endometrium. Gejala- gejala lain seperti nausea, vomitus dan diare mungkin dihubungkan dengan haid yang nyeri. Gejala- gejala seperti ini dapat disebabkan oleh peningkatan prostaglandin yang beredar yang merangsang hiperaktivitas otot polos usus. Riwayat penyakit terdahulu pasien dengan dismenore mungkin menceritakan riwayat nyeri serupa yang timbul pada setiap siklus haid. Kadang- kadang pasien mengungkapkan riwayat kelelahan yang berlebihan dan ketegangan saraf.
·         Data Objektif
Pemeriksaan fisik abdomen dan pelvis. Pada pemeriksaan abdomen biasanya lunak tanpa adanya rangsangan peritonium atau suatu keadaan patologik yang terlokalisir dan bising usus normal. Sedangkan pada pemeriksaan pelvis, pada kasus- kasus dismenore primer pemeriksaan pelvis adalah normal dan pada dismenore sekunder pemeriksaan pelvis dapat menyingkap keadaan patologis dasarnya sebagai contoh, nudul- nodul endometriotik dalam kavum Dauglasi atau penyakit tubaovarium atau leiomiomata. Sedangkan untuk tes laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap yang normal dan urinalisis normal.
c.      Diagnose keperawatan
·         Nyeri yang berhubungan dengan meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersensitivitas dan saraf nyeri uterus.
·         Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan adanya mual, muntah.
·         Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kelebihan emosional.
d.      Rencana Asuhan Keperawatan 
      Intervensi Keperawatan:
Diagnosis 1 : Nyeri yang berhubungan dengan meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersenstivitas saraf nyeri uterus.
Tujuan : Nyeri klien berkurang dalam waktu 1 x 24 jam.
Kriteria Hasil: Klien mengatakan nyeri berkurang, klien tidak memegang punggung, kepala atau daerah lainnya yang sakit, keringat berkurang.
Intervensi Mandiri
a.       Hangatkan bagian perut.
Rasional : dapat menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan mengurangi kontraksi spasmodik uterus.
b.      Masase daerah perut yang terasa nyeri.
Rasional : mengurangi nyeri karena adanya stimulus sentuhan terapeutik.
c.       Lakukan latihan ringan.
Rasional : dapat memperbaiki aliran darah ke uterus dan tonus otot.
d.      Lakukan teknik relaksasi.
Rasional : mengurangi tekanan untuk mendapatkan rileks
e.       Berikan diuresis natural (vitamin) tidur dan istirahat.
Rasional : mengurangi kongesti
Kolaborasi
a.      Pemberian anagetik (aspirin, fenasetin, kafein)
Rasional : diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri agar ibu dapat istirahat.
b.      Terapi dio,etasin, ibuprofem, naprosen.
Rasional : biasanya digunakan untuk menormalkan produksi  prostagadin
Diagnosis 2 : Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan kelabilan emosional.
Tujuan : klien akan mengetahui tentang penyakitnya.
Kriteria Hasil : Mulai menunjukkan keterampilan interpersonal yang efektif.
Intervensi Mandiri
a.       Kaji pemahaman klien tentang penyakit yang dideritanya.
Rasional : kecemasan ibu terhadap rasa sakit yang diderita akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
b.      Tentukan stress tambahan yang menyertainya.
Rasional : stress dapat mengganggu respons saraf otonom, sehingga dikhawatirkan akan menambah rasa sakit.
c.       Berikan kesempatan pada ibu untuk mendiskusikan bagaimana rasa sakit yang dideritanya.
d.      Bantu klien mengidentifikasi keterampilan koping selama periode berlangsung.
Rasional : penggunaan perilaku yang efektif dapat membantu klien beradaptasi dengan rasa sakit yang dialaminya.
e.       Berikan periode tidur atau istirahat.
Rasional : kelelahan karena rasa sakit dan pengeluaran cairan yang banyak dari tubuh cenderung merupakan masalah berarti yang mesti banyak dari tubuh cenderung merupakan masalah berarti yang mesti segera diatasi.
f.       Dorong keterampilan mengenai stress, misalnya dengan teknik relaksasi, visualisasi, bimbingan, imajinasi dan latihan napas dalam.
Rasional : dapat mengurangi rasa nyeri dan mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri.



DAFTAR PUSTAKA

Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-UNPAD. 1983. Fisiologi Alat-alat reproduksi Wanita dalam Obstetri Fisiologi. Bandung. Penerbitan Eleman.

Hamilto Persis Mary, Dasar-Dasar Keprawatan Maternitas, Edisi – 6, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1995

Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu Kebidabnan Kandungan dan Keluarga Berencana, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 199