ASUHAN KEPERAWATAN DISMENORE
a. Definisi
Dismenore atau menstruasi yang
menimbulkan nyeri yang disebabkan oleh kejang otot uterus yang dimana merupakan
salah satu masalah ginekologi yang paling umum dialami oleh wanita dari
berbagai tingkat usia.
b. Epidemiologi/Insiden
Kasus
Dismenore
dapat mempengaruhi lebih dari setengah wanita haid, dan prevalensi yang dilaporkan
telah sangat bervariasi. Sebuah survey dari 113 pasien dalam praktek pengaturan
keluarga menunjukkan prevalensi dismenore dari 29-44%, tetapi angka prevalensi
setinggi 90% pada wanita berusia 18-45 tahun.
Di
Indonesia angka kejadian dismenore sebesar 64.25 % yang terdiri dari 54,89%
dismenore primer dan 9,36 % dismenore sekunder (Infosehat, 2008). Di Surabaya
di dapatkan 1,07 %-1,31 % dari jumlah penderita dismenore datang kebagian
kebidanan, Sekitar 20% bisa dialami oleh wanita
remaja dan wanita muda, sedangkan 40% pada wanita paruh baya (usia lebih 40
tahun).
c. Penyebab/
factor predisaposisi
Dismenore
primer
Banyak teori yang telah ditemukan
untuk menerangkan penyebab terjadi
dismenore primer, Etiologi dismenore primer di antaranya :
1.
Faktor
psikologis
Biasanya terjadinya pada gadis-gadis
yang secara emosional tidak stabil, mempunyai ambang nyeri yang rendah,
sehingga dengan sedikit rangsangan nyeri, maka ia akan sangat merasa kesakitan
2.
Faktor
endokrin
Pada umumnya nyeri haid ini
dihubungkan dengan kontraksi uterus yang tidak bagus. Hal ini sangat erat
kaitannya dengan pengaruh hormonal. Peningkatan produksi prostaglandin akan
menyebabkan terjadinya kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi sehingga
menimbulkan nyeri.
3.
Alergi
Teori ini dikemukakan setelah memerlukan
setelah memberhatikan hubungan antara asosiasi antara dismenore dengan
urtikaria, migren, asma bronchial, namun bagaimana pun belum dapat dibuktikan
mekanismenya.
Dismenore
sekunder
1.
Faktor
konstitusi seperti : anemia.
2.
Faktor
seperti obstruksi kanalis servikalis
3.
Anomali
uterus congenital
4.
Leiomioma
submukosa.
5.
Endometriosis
dan adenomiosis
d. Patofisiologi
Terjadinya Penyakit
Dismenorea
Primer
Dismenorea primer (primary
dysmenorrhea) biasanya terjadi dalam 6-12 bulan pertama setelah menarche (haid
pertama) segera setelah siklus ovulasi teratur (regular ovulatory cycle)
ditetapkan/ditentukan. Selama menstruasi, sel-sel endometrium yang terkelupas (sloughing
endometrial cells) melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus
melalui kontraksi miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar
prostaglandin telah terbukti ditemukan pada cairan haid (menstrual fluid) pada
wanita dengan dismenorea berat (severe dysmenorrhea). Kadar ini memang
meningkat terutama selama dua hari pertama menstruasi. Vasopressin juga
memiliki peran yang sama.
Riset terbaru menunjukkan bahwa
patogenesis dismenorea primer adalah karena prostaglandin F2alpha (PGF2alpha),
suatu stimulan miometrium yang kuat (apotent myometrial stimulant) dan
vasoconstrictor, yang ada di endometrium sekretori (Willman, 1976). Respon
terhadap inhibitor prostaglandin pada pasien dengan dismenorea mendukung
pernyataan bahwa dismenorea diperantarai oleh prostaglandin (prostaglandin
mediated). Banyak bukti kuat menghubungkan dismenorea dengan kontraksi uterus
yang memanjang (prolonged uterine contractions) dan penurunan aliran darah ke
miometrium. Kadar prostaglandin yang meningkat ditemukan di cairan endometrium
(endometrial fluid) wanita dengan dismenorea dan berhubungan baik dengan
derajat nyeri (Helsa, 1992; Eden, 1998).
Peningkatan endometrial
prostaglandin sebanyak 3 kali lipat terjadi dari fase folikuler menuju fase
luteal, dengan peningkatan lebih lanjut yang terjadi selama menstruasi
(Speroff, 1997; Dambro, 1998). Peningkatan prostaglandin di endometrium yang
mengikuti penurunan progesterone pada akhir fase luteal menimbulkan peningkatan
tonus miometrium dan kontraksi uterus yang berlebihan (Dawood, 1990).
Leukotriene juga telah diterima (postulated) untuk mempertinggi sensitivitas
nyeri serabut (pain fibers) di uterus (Helsa, 1992). Jumlah leukotriene yang
bermakna (significant) telah dipertunjukkan di endometrium wanita dengan
dismenorea primer yang tidak berespon terhadap pengobatan dengan antagonis
prostaglandin (Demers, 1984; Rees, 1987; Chegini, 1988; Sundell, 1990; Nigam,
1991). Hormon pituitari posterior, vasopressin, terlibat pada hipersensitivitas
miometrium, mereduksi (mengurangi) aliran darah uterus, dan nyeri (pain) pada
penderita dismenorea primer (Akerlund, 1979). Peranan vasopressin di
endometrium dapat berhubungan dengan sintesis dan pelepasan prostaglandin.
Dismenorea
Sekunder
Dismenorea sekunder (secondary
dysmenorrhea) dapat terjadi kapan saja setelah menarche (haid pertama), namun
paling sering muncul di usia 20-an atau 30-an. Setelah tahun-tahun normal,
siklus tanpa nyeri (relatively painless cycles). Peningkatan prostaglandin
dapat berperan pada dismenorea sekunder, namun, secara pengertian (by
definition), penyakit pelvis yang menyertai (concomitant pelvic pathology) haruslah
ada. Penyebab yang umum termasuk: endometriosis, leiomyomata (fibroid),
adenomyosis, polip endometrium, chronic pelvic inflammatory disease, dan
penggunaan peralatan kontrasepsi atau IUD (intrauterine device). Karim Anton
Calis (2006) mengemukakan sejumlah faktor yang terlibat dalam patogenesis
dismenorea sekunder. Kondisi patologis pelvis berikut ini dapat memicu atau
mencetuskan dismenorea sekunder: Endometriosis, Pelvic inflammatory disease,
Tumor dan kista ovarium, Oklusi atau stenosis servikal, Adenomyosis, Fibroids,
Uterine polyps, Intrauterine adhesions, Congenital malformations (misalnya:
bicornate uterus, subseptate uterus), Intrauterine contraceptive device, Transverse vaginal septum serta Pelvic
congestion syndrome Allen-Masters syndrome.
e. Klasifikasi
Secara klinis Dismenorea dapat diklasifikasikan
menjadi 2 (dua) macam yaitu
Dismenorea
Primer (esensial, intrinsik, idiopatik)
Dismenore primer biasanya terjadi
akibat adanya kelainan pada gangguan fisik yang mendasarinya, sebagian besar
dialami oleh wanita yang telah mendapatkan haid. Lokasi nyeri dapat terjadi di
daerah suprapubik, terasa tajam, menusuk, terasa diremas, atau sangat sakit.
Biasanya terjadi terbatas pada daerah perut bagian bawah, tapi dapat menjalar
sampai daerah paha dan pinggang. Selain rasa nyeri, dapat disertai dengan
gejala sistematik, yaitu berupa mual, diare, sakit kepala, dan gangguan
emosional.
Dismenorea
Sekunder (ekstrinsik, yang diperoleh, acquired)
Biasanya terjadi selama 2 – 3 hari
selama siklus dan wanita yang mengalami dismenore sekunder ini biasanya mempunyai
siklus haid yang tidak teratur atau tidak normal. Pemeriksaan dengan
laparaskopi sangat diperlukan untuk menemukan penyebab jelas dismenore sekunder
ini.
f. Gejala
Klinis
Gejala klinis disminore yang sering
ditemukan adalah :
1. Nyeri tidak lama timbul sebelum atau
bersama-sama dengan permulaan haid dan berlangsung beberapa jam atau lebih
2. Bersamaan dengan rasa nyeri dapat
dijumpai rasa mual, muntah, sakit, kepala, diare, dan sebagainya.
g. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan
fisik umumnya akan memberikan petunjuk untuk penegakan diagnosis atau diagnosis
itu sendiri pada pasien yang memiliki keluhan dismenore atau nyeri pelvis yang
sifatnya kronis. Adanya pembesaran uterus yang asimetris atau tidak teratur
menandakan suatu myoma atau tumor lainnya. Pembesaran uterus yang simetris
kadang muncul pada kasus adenomyosis dan kadang terjadi pada kasus polyps
intrauterin. Adanya nodul yang menyebabkan rasa nyeri pada bagian posterior dan
keterbatasan gerakan uterus menandakan endometriosis. Gerakan uterus yang
terbatas juga ditemukan pada kasus luka pelvis akibat adhesion atau inflamasi.
Proses inflamasi kadang menyebabkan penebalan struktur adnexal. Penebalan ini
terlihat jelas pada pemeriksaan fisik. Namun, pada beberapa kasus nyeri pelvis,
pemeriksaan laparoskopi pada organ pelvis tetap dibutuhkan untuk melengkapi
proses diagnosa (Smith, 2003).
h. Pemeriksaan
diagnostic/penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan pada klien dengan dismenore adalah:
1. Tes Laboratorium
a.
Pemeriksaan
darah lengkap: normal
b.
Urinalisis:
normal
2. Tes Diagnostik Tambahan
a.
Laparaskopi:
penyikapan atas adanya endomeriosi ataukelainan pelvis yang lain.
i.
Diagnosis/criteria diagnosis
Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Diagnosa dismenore
didasari atas ketidaknyamanan saat menstruasi. Perubahan apapun pada
kesehatan reproduksi, termasuk hubungan badan yang sakit dan perubahan pada
jumlah dan lama menstruasi, membutuhkan pemeriksaan ginekologis;
perubahan-perubahan seperti itu dapat menandakan sebab dari dismenore sekunder.
j.
Therapi/tindakan penanganan
1. Secara
Farmakologis
Menurut
Potter dan Perry (2005) upaya farmakologis yang dapat dilakukan dengan
memberikan obat analgesic sebagai penghilang rasa sakit. Menurut Bare &
Smeltzer (2001), penanganan nyeri yang dialami oleh individu dapat melalui
intervensi farmakologis, dilakukan kolaborasi dengan dokter atau pemberi
perawatan utama lainnya pada pasien. Obat-obatan ini dapat menurunkan nyeri dan
menghambat produksi prostaglandin dari jaringan-jaringan yang mengalami trauma
dan inflamasi yang menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitive terhadap
stimulus menyakitkan sebelumnya, contoh obat anti inflamasi nonsteroid adalah
aspirin, ibuprofen. Menurut Prawirohardjo (1999), Penanganan disminore primer adalah:
a. Penanganan
dan nasehat
Penderita
perlu dijelskan bahwa dismenore adalah gangguan yang tidak berbahaya untuk
kesehatan, hendaknya diadakan penjelasan dan diskusi mengenai cara hidup,
pekerjaan, kegiatan, dan lingkungan penderita. Salah satu informasi yang perlu
dibicarakan yaitu mengenai makanan sehat, istrahat yang cukup, dan olahraga
mungkin berguna, serta psikoterapi.
b. Pemberian
obat analgesic
Dewasa
ini banyak beredar obat-obat analgesik yang dapat diberikan sebagai terapi
simtomatik, jika rasa nyeri hebat diperlukan istrhat di tempat tidur dan
kompres panas pada perut bawah untuk mengurangi penderita. Obat analgesik yang
sering diberikan adalah preprat kombinasi aspirin, fansetin, dan kafein.
Obat-obatan paten yang beredar dipasaran antara lain novalgin, ponstan,
acetaminophendan sebagainya.
c. Terapi
hormonal
Tujuan
terapi hormonal ialah menekan ovulasi, bersifat sementara untuk membuktikan
bahwa gangguan benar-benar dismenore primer atau untuk memungkinkan penderita
melakukan pekerjaan penting waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai
dengan memberikan salah satu jenis pil kombinasi kontrasepsi.
d. Terapi
dengan obat non steroid anti prostaglandin
Endometasin,
ibuprofen, dan naproksen, dalam kurang lebih 70% penderita dapat disembuhkan
atau mengalami banyak perbaikan. Pengobatan dapat diberikan sebelum haid mulai
satu sampai tiga hari sebelum haid dan dapat hari pertama haid.
e. Dilatasi kanalis servikalis
Dilatasi
kanalis servikalis dapat memberikan keringanan karena dapat memudahkan pengeluaran
darah dengan haid dan prostaglandin didalamnya. Neurektomi prasakral
(pemotongan urat saraf sensorik antara uterus dan susunan saraf pusat) ditambah
dengan neurektomi ovarial (pemotongan urat saraf sensorik pada diligamentum
infundibulum) merupakan tindakan terakhir, apabila usaha-usaha lainnya gagal.
2.
Secara Non Farmakologis
Menurut
Bare & Smeltzer (2001) penanganan nyeri secara nonfarmakologis terdiri
dari:
a. Stimulasi
dan Masase kutaneus
Masase adalah stimulus kutaneus tubuh
secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat
pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
b. Terapi
es dan panas
Terapi es dapat menurunkan prostsglandin
yang memperkuat sensitifitas reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat
cedera dengan menghambat proses inflamasi. Terapi panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan dapat turut menurungkan
nyeri dengan memprcepat penyembuhan.
c. Transecutaneus
Elektrikal Nerve Stimulaton ( TENS)
TENS dapat menurunkan nyeri dengan
menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nesiseptor) dalam area yang sama
seperti pada serabut yang menstramisikan nyeri. TENS menggunakan unit yang
dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang di pasang pada kulit untuk
menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.
d. Distraksi
Distraksi adalah pengalihan perhatian dari
hal yang menyebabkan nyeri, contoh: menyanyi, brdoa, menceritakan gambar atau
foto denaga kertas, mendengar musik dan bermain satu permainan.
e. Relaksasi
Relaksasi merupakan teknik pengendoran
atau pelepasan ketegangan. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas nafas
abdomen dengan frekuensi lambat, berirama (teknik relaksasi nafas dalam.
Contoh: bernafas dalam-dalam dan pelan.
f. Imajinasi
Imajinasi
merupakan hayalan atau membayangkan hal yang lebih baik khususnya dari rasa
nyeri yang dirasakan.
k. Komplikasi
Komplikasi yang biasa muncul yaitu: Syok dan penurunan kesadaran.
Asuhan Keperawatan
b.
Pengkajian
Hal-hal yang
perlu dikaji pada klien dengan dismenore yaitu: Siklus haid, karakteristik
nyeri, serta gejala yang mengikutinya.
·
Data Subjektif
Nyeri abdomen dapat mulai beberapa jam
sampai 1 hari mendahului keluarnya darah haid. Nyeri biasanya paling kuat
sekitar 12 jam setelah mulai timbul keluarnya darah, saat pelepasan endometrium
maksimal. Nyeri cenderung bersifat tajam dan kolik 12 biasanya dirasakan di
daerah suprapubis. Nyeri juga dapat meliputi daerah lumbosakral dan bagian
dalam dan anterior paha sampai daerah inervasi saraf ovarium dan uterus yang
dialihkan ke permukaan tubuh. Biasanya nyeri hanya menetap sepanjang hari
pertama tetapi nyeri dapat menetap sepanjang seluruh siklus haid. Nyeri dapat
demikian hebat sehingga pasien memerlukan pengobatan darurat. Gejala- gejala
haid, haid biasanya teratur. Jumlah dan lamanya perdarahan bervariasi. Banyak
pasien menghubungkan nyeri dengan pasase bekuan darah atau campakkan
endometrium. Gejala- gejala lain seperti nausea, vomitus dan diare
mungkin dihubungkan dengan haid yang nyeri. Gejala- gejala seperti ini dapat
disebabkan oleh peningkatan prostaglandin yang beredar yang merangsang
hiperaktivitas otot polos usus. Riwayat penyakit terdahulu pasien dengan dismenore
mungkin menceritakan riwayat nyeri serupa yang timbul pada setiap siklus
haid. Kadang- kadang pasien mengungkapkan riwayat kelelahan yang berlebihan dan
ketegangan saraf.
·
Data Objektif
Pemeriksaan fisik abdomen dan pelvis. Pada
pemeriksaan abdomen biasanya lunak tanpa adanya rangsangan peritonium atau
suatu keadaan patologik yang terlokalisir dan bising usus normal. Sedangkan
pada pemeriksaan pelvis, pada kasus- kasus dismenore primer pemeriksaan
pelvis adalah normal dan pada dismenore sekunder pemeriksaan pelvis
dapat menyingkap keadaan patologis dasarnya sebagai contoh, nudul- nodul
endometriotik dalam kavum Dauglasi atau penyakit tubaovarium atau leiomiomata.
Sedangkan untuk tes laboratorium yang meliputi pemeriksaan darah lengkap yang
normal dan urinalisis normal.
c. Diagnose keperawatan
·
Nyeri yang berhubungan dengan
meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersensitivitas dan saraf nyeri uterus.
·
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh yang berhubungan dengan adanya mual, muntah.
·
Koping individu tidak efektif yang
berhubungan dengan kelebihan emosional.
d. Rencana Asuhan Keperawatan Intervensi Keperawatan:
Diagnosis 1 : Nyeri yang berhubungan dengan
meningkatnya kontraktilitas uterus, hipersenstivitas saraf nyeri uterus.
Tujuan
: Nyeri klien berkurang dalam waktu 1
x 24 jam.
Kriteria Hasil: Klien
mengatakan nyeri berkurang, klien tidak memegang punggung, kepala atau daerah
lainnya yang sakit, keringat berkurang.
Intervensi
Mandiri
a.
Hangatkan
bagian perut.
Rasional :
dapat menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan mengurangi kontraksi spasmodik
uterus.
b.
Masase
daerah perut yang terasa nyeri.
Rasional :
mengurangi nyeri karena adanya stimulus sentuhan terapeutik.
c.
Lakukan
latihan ringan.
Rasional
: dapat memperbaiki aliran darah ke uterus dan tonus otot.
d.
Lakukan
teknik relaksasi.
Rasional
: mengurangi tekanan untuk mendapatkan rileks
e.
Berikan
diuresis natural (vitamin) tidur dan istirahat.
Rasional
: mengurangi kongesti
Kolaborasi
a. Pemberian anagetik (aspirin,
fenasetin, kafein)
Rasional :
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri agar ibu dapat istirahat.
b. Terapi dio,etasin, ibuprofem,
naprosen.
Rasional :
biasanya digunakan untuk menormalkan produksi
prostagadin
Diagnosis 2 : Koping individu tidak efektif yang
berhubungan dengan kelabilan emosional.
Tujuan : klien akan mengetahui tentang
penyakitnya.
Kriteria Hasil : Mulai menunjukkan keterampilan interpersonal
yang efektif.
Intervensi
Mandiri
a.
Kaji
pemahaman klien tentang penyakit yang dideritanya.
Rasional : kecemasan ibu terhadap rasa sakit yang diderita akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
Rasional : kecemasan ibu terhadap rasa sakit yang diderita akan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
b.
Tentukan
stress tambahan yang menyertainya.
Rasional : stress dapat mengganggu respons saraf otonom, sehingga dikhawatirkan akan menambah rasa sakit.
Rasional : stress dapat mengganggu respons saraf otonom, sehingga dikhawatirkan akan menambah rasa sakit.
c.
Berikan
kesempatan pada ibu untuk mendiskusikan bagaimana rasa sakit yang dideritanya.
d.
Bantu
klien mengidentifikasi keterampilan koping selama periode berlangsung.
Rasional :
penggunaan perilaku yang efektif dapat membantu klien beradaptasi dengan rasa
sakit yang dialaminya.
e.
Berikan
periode tidur atau istirahat.
Rasional :
kelelahan karena rasa sakit dan pengeluaran cairan yang banyak dari tubuh
cenderung merupakan masalah berarti yang mesti banyak dari tubuh cenderung
merupakan masalah berarti yang mesti segera diatasi.
f.
Dorong
keterampilan mengenai stress, misalnya dengan teknik relaksasi, visualisasi,
bimbingan, imajinasi dan latihan napas dalam.
Rasional :
dapat mengurangi rasa nyeri dan mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagian
Obstetri dan Ginekologi FK-UNPAD. 1983. Fisiologi
Alat-alat reproduksi Wanita dalam Obstetri Fisiologi.
Bandung. Penerbitan Eleman.
Hamilto Persis Mary, Dasar-Dasar
Keprawatan Maternitas, Edisi – 6, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1995
Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1995
Ida Bagus Gde Manuaba, Ilmu
Kebidabnan Kandungan dan Keluarga Berencana, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 199